Rabu, 03 Agustus 2016

cerita ngentot dengan pemilik rumah mewah

Sebut saja namanya “Sidar” (nama samaran). Dia adalah seorang wanita bersuku
campuran. Bapaknya berasal dari kota Menado dan Ibunya dari kota Makassar.
Bapaknya adalah seorang polisi berpangkat Serma, sedang ibunya adalah pengusaha
kayu.

Singkat cerita, ketika hari pertama aku ketemu dengan teman kuliahku itu,
rasanya kami langsung akrab karena memang sewaktu kami sama-sama duduk di bangku
kuliah, kami sangat kompak dan sering tidur bersama di rumah kostku di kota Bone.
Bahkan seringkali dia mentraktirku.

“Nis, aku senang sekali bertemu denganmu dan memang sudah lama kucari-cari,
maukah kamu mengingap barang sehari atau dua hari di rumahku?” katanya padaku
sambil merangkulku dengan erat sekali. Nama teman kuliahku itu adalah “Nasir”.

“Kita lihat saja nanti. Yang jelas aku sangat bersukur kita bisa ketemu di
tempat ini. Mungkin inilah namanya nasib baik, karena aku sama sekali tidak
menduga kalau kamu tinggal di kota Makassar ini” jawabku sambil membalas
rangkulannya. Kami berangkulan cukup lama di sekitar pasar sentral Makassar,
tepatnya di tempat jualan cakar.

“Ayo kita ke rumah dulu Nis, nanti kita ngobrol panjang lebar di sana, sekaligus
kuperkenalkan istriku” ajaknya sambil menuntunku naik ke mobil Feroza miliknya.
Setelah kami tiba di halaman rumahnya, Nasir terlebih dahulu turun dan segera
membuka pintu mobilnya di sebelah kiri lalu mempersilakan aku turun. Aku sangat
kagum melihat rumah tempat tinggalnya yang berlantai dua. Lantai bawah digunakan
sebagai gudang dan kantor perusahaannya, sementara lantai atas digunakan sebagai
tempat tinggal bersama istri. Aku hanya ikut di belakangnya.

“Inilah hasil usaha kami Nis selama beberapa tahun di Makassar” katanya sambil
menunjukkan tumpukan beras dan ruangan kantornya.

“Wah cukup hebat kamu Sir. Usahamu cukup lemayan. Kamu sangat berhasil dibanding
aku yang belum jelas sumber kehidupanku” kataku padanya.

“Dar, Dar, inilah teman kuliahku dulu yang pernah kuceritakan tempo hari.
Kenalkan istri cantik saya” teriak Nasir memanggil istrinya dan langsung kami
dikenalkan.

“Sidar”, kata istrinya menyebut namanya ketika kusalami tangannya sambil ia
tersenyum ramah dan manis seolah menunjukkan rasa kegembiraan.

“Anis”, kataku pula sambil membalas senyumannya.

Nampaknya Sidar ini adalah seorang istri yang baik hati, ramah dan selalu
memelihara kecantikannya. Usianya kutaksir baru sekitar 25 tahun dengan tubuh
sedikit langsing dan tinggi badan sekitar 145 cm serta berambut agak panjang.
Tangannya terasa hangat dan halus sekali. Setelah selesai menyambutku, Sidar
lalu mempersilakanku duduk dan ia buru-buru masuk ke dalam seolah ada urusan
penting di dalam. Belum lama kami bincang-bincang seputar perjalanan usaha Nasir
dan pertemuannya dengan Sidar di Kota Makassar ini, dua cangkir kopi susu
beserta kue-kue bagus dihidangkan oleh Sidar di atas meja yang ada di depan kami.

“Silakah Kak, dinikmati hidangan ala kadarnya” ajakan Sidar menyentuh langsung
ke lubuk hatiku. Selain karena senyuman manisnya, kelembutan suaranya, juga
karena penampilan, kecantikan dan sengatan bau farfumnya yang harum itu. Dalam
hati kecilku mengatakan, alangkah senang dan bahagianya Nasir bisa mendapatkan
istri seperti Sidar ini. Seandainya aku juga mempunyai istri seperti dia, pasti
aku tidak bisa ke mana-mana

“Eh, kok malah melamun. Ada masalah apa Nis sampai termenung begitu? Apa yang
mengganggu pikiranmu?” kata Nasir sambil memegang pundakku, sehingga aku sangat
kaget dan tersentak.

“Ti.. Tidak ada masalah apa-apa kok. Hanya aku merenungkan sejenak tentang
pertemuan kita hari ini. Kenapa bisa terjadi yah,” alasanku.

Sidar hanya terdiam mendengar kami bincang-bincang dengan suaminya, tapi
sesekali ia memandangiku dan menampakkan wajah cerianya.

“Sekarang giliranmu Nis cerita tentang perjalanan hidupmu bersama istri setelah
sejak tadi hanya aku yang bicara. Silahkan saja cerita panjang lebar mumpun hari
ini aku tidak ada kesibukan di luar. Lagi pula anggaplah hari ini adalah hari
keistimewaan kita yang perlu dirayakan bersama. Bukankah begitu Dar..?” kata
Nasir seolah cari dukungan dari istrinya dan waktunya siap digunakan khusus
untukku.

“Ok, kalau gitu aku akan utarakan sedikit tentang kehidupan rumah tanggaku, yang
sangat bertolak belakang dengan kehidupan rumah tangga kalian” ucapanku sambil
memperbaiki dudukku di atas kursi empuk itu.

“Maaf jika terpaksa kuungkapkan secara terus terang. Sebenarnya kedatanganku di
kota Makassar ini justru karena dipicu oleh problem rumah tanggaku. Aku selalu
cekcok dan bertengkar dengan istriku gara-gara aku kesulitan mendapatkan
lapangan kerja yang layak dan mempu menghidupi keluargaku. Akhirnya kuputuskan
untuk meninggalkan rumah guna mencari pekerjaan di kota ini. Eh.. Belum aku
temukan pekerjaan, tiba-tiba kita ketemu tadi setelah dua hari aku ke sana ke
mari. Mungkin pertemuan kita ini ada hikmahnya. Semoga saja pertemuan kita ini
merupakan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan rumahtanggaku” Kisahku secara
jujur pada Nasir dan istrinya.

Mendengar kisah sedihku itu, Nasir dan istrinya tak mampu berkomentar dan nampak
ikut sedih, bahkan kami semua terdiam sejenak. Lalu secara serentak mulut Nasir
dan istrinya terbuka dan seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba mereka
saling menatap dan menutup kembali mulutnya seolah mereka saling mengharap untuk
memulai, namun malah mereka ketawa terbahak, yang membuatku heran dan memaksa
juga ketawa.

“Begini Nis, mungkin pertemuan kita ini benar ada hikmahnya, sebab kebetulan
sekali kami butuh teman seperti kamu di rumah ini. Kami khan belum dikaruniai
seorang anak, sehingga kami selalu kesepian. Apalagi jika aku ke luar kota
misalnya ke Bone, maka istriku terpaksa sendirian di rumah meskipun sekali-kali
ia memanggil kemanakannya untuk menemani selama aku tidak ada, tapi aku tetap
menghawatirkannya. Untuk itu, jika tidak memberatkan, aku inginkan kamu tinggal
bersamaku. Anggaplah kamu sudah dapatkan lapangan kerja baru sebagai sumber mata
pencaharianmu. Segala keperluan sehari-harimu, aku coba menanggung sesuai
kemampuanku” kata Nasir bersungguh-sungguh yang sesekali diiyakan oleh istrinya.

“Maaf kawan, aku tidak mau merepotkan dan membebanimu. Biarlah aku cari kerja di
tempat lain saja dan..” Belum aku selesai bicara, tiba-tiba Nasir memotong dan
berkata..

“Kalau kamu tolak tawaranku ini berarti kamu tidak menganggapku lagi sebagai
sahabat. Kami ikhlas dan bermaksud baik padamu Nis” katanya.

“Tetapi,” Belum kuutarakan maksudku, tiba-tiba Sidar juga ikut bicara..

“Benar Kak, kami sangat membutuhkan teman di rumah ini. Sudah lama hal ini kami
pikirkan tapi mungkin baru kali ini dipertemukan dengan orang yang tepat dan
sesuai hati nurani. Apalagi Kak Anis ini memang sahabat lama Kak Nasir, sehingga
kami tidak perlu ragukan lagi. Bahkan kami sangat senan jika Kak sekalian
menjemput istrinya untuk tinggal bersama kita di rumah ini” ucapan Sidar memberi
dorongan kuat padaku.

“Kalau begitu, apa boleh buat. Terpaksa kuterima dengan senang hati, sekaligus
kuucapkan terima kasih yang tak terhingga atas budi baiknya. Tapi sayangnya, aku
tak memiliki keterampilan apa-apa untuk membantu kalian” kataku dengan pasrah.

Tiba-tiba Nasir dan Sidar bersamaan berdiri dan langsung saling berpelukan,
bahkan saling mengecup bibir sebagai tanda kegembiraannya. Lalu Nasir
melanjutkan rangkulannya padaku dan juga mengecup pipiku, sehingga aku sedikit
malu dibuatnya.

“Terima kasih Nis atas kesediaanmu menerima tawaranku semoga kamu berbahagia dan
tidak kesulitan apapun di rumah ini. Kami tak membutuhkan keterampilanmu,
melainkan kehadiranmu menemani kami di rumah ini. Kami hanya butuh teman bermain
dan tukar pikiran, sebab tenaga kerjaku sudah cukup untuk membantu mengelola
usahaku di luar. Kami sewaktu-waktu membutuhkan nasehatmu dan istriku pasti
merasa terhibur dengan kehadiranmu menemani jika aku keluar rumah” katanya
dengan sangat bergembira dan senang mendengar persetujuanku.

Kurang lebih satu bulan lamanya kami seolah hanya diperlakukan sebagai raja di
rumah itu. Makanku diurus oleh Sidar, tempat tidurku terkadang juga dibersihkan
olehnya, bahkan ia meminta untuk mencuci pakaianku yang kotor tapi aku keberatan.
Selama waktu itu pula, aku sudah dilengkapi dengan pakaian, bahkan kamar tidurku
dibelikan TV 20 inch lengkap dengan VCD-nya. Aku sangat malu dan merasa berutang
budi pada mereka, sebab selain pakaian, akupun diberi uang tunai yang jumlahnya
cukup besar bagiku, bahkan belakangan kuketahui jika ia juga seringkali kirim
pakaian dan uang ke istri dan anak-anakku di Bone lewat mobil.

Kami bertiga sudah cukup akrab dan hidup dalam satu rumah seperti saudara
kandung bersenda gurau, bercengkerama dan bergaul tanpa batas seolah tidak ada
perbedaan status seperti majikan dan karyawannya. Kebebasan pergaulanku dengan
Sidar memuncak ketika Nasir berangkat ke Sulawesi Tenggara selama beberapa hari
untuk membawa beras untuk di jual di sana karena ada permintaan dari
langgarannya.

Pada malam pertama keberangkatan Nasir, Sidar nampak gembira sekali seolah tidak
ada kekhawatiran apa-apa. Bahkan sempat mengatakan kepada suaminya itu kalau ia
tidak takut lagi ditinggalkan meskipun berbulan-bulan lamanya karena sudah ada
yang menjaganya, namun ucapannya itu dianggapnya sebagai bentuk humor terhadap
suaminya. Nasir pun nampak tidak ada kekhawatiran meninggalkan istrinya dengan
alasan yang sama.

Malam itu kami (aku dan Sidar) menonton bersama di ruang tamu hingga larut malam,
karena kami sambil tukar pengalaman, termasuk soal sebelum nikah dan latar
belakang perkawinan kami masing-masing. Sikap dan tingkah laku Sidar sedikit
berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Malam itu, Sidar membuat kopi susu dan
menyodorkanku bersama pisang susu, lalu kami nikmati bersama-sama sambil nonton.
Ia makan sambil berbaring di sampingku seolah dianggap biasa saja. Sesekali ia
membalikkan tubuhnya kepadaku sambil bercerita, namun aku pura-pura bersikap
biasa, meskipun ada ganjalan aneh di benakku.

“Nis, kamu tidak keberatan khan menemaniku nonton malam ini? Besok khan tidak
ada yang mengganggu kita sehingga kita bisa tidur siang sepuasnya?” tanya Sidar
tiba-tiba seolah ia tak mengantuk sedikitpun.
“Tidak kok Dar. Aku justru senang dan bahagia bisa nonton bersama majikanku”
kataku sedikit menyanjungnya. Sidar lalu mencubitku dan..
“Wii de.. De, kok aku dibilangin majikan. Sebel aku mendengarnya. Ah, jangan
ulang kata itu lagi deh, aku tak sudi dipanggil majikan” katanya.
“Hi.. Hi.. Hi, tidak salah khan. Maaf jika tidak senang, aku hanya main-main.
Lalu aku harus panggil apa? Adik, Non, Nyonya atau apa?”
“Terserah dech, yang penting bukan majikan. Tapi aku lebih seneng jika kamu
memanggil aku adik” katanya santai.
“Oke kalau begitu maunya. Aku akan panggil adik saja” kataku lagi.

Malam semakin larut. Tak satupun terdengar suara kecuali suara kami berdua
dengan suara TV. Sidar tiba-tiba bangkit dari pembaringannya.

“Nis, apa kamu sering nonton kaset VCD bersama istrimu?” tanya Sidar dengan
sedikit rendah suaranya seolah tak mau didengar orang lain.
“Eng.. Pernah, tapi sama-sama dengan orang lain juga karena kami nonton di
rumahnya” jawabku menyembunyikan sikap keherananku atas pertanyaannya yang tiba-tiba
dan sedikit aneh itu.
“Kamu ingat judulnya? Atau jalan ceritanya?” tanyanya lagi.
“Aku lupa judulnya, tapi pemainnya adalah Rhoma Irama dan ceritanya adalah
masalah percintaan” jawabku dengan pura-pura bersikap biasa.
“Masih mau ngga kamu temani aku nonton film dari VCD? Kebetulan aku punya kaset
VCD yang banyak. Judulnya macam-macam. Terserah yang mana Anis suka” tawarannya,
tapi aku sempat berfikir kalau Sidar akan memutar film yang aneh-aneh, film
orang dewasa dan biasanya khusus ditonton oleh suami istri untuk membangkitkan
gairahnya.

Setelah kupikir segala resiko, kepercayaan dan dosa, aku lalu bikin alasan.

“Sebenarnya aku senang sekali, tapi aku takut.. Eh.. Maaf aku sangat ngantuk.
Jika tidak keberatan, lain kali saja, pasti kutemani” kataku sedikit bimbang dan
takut alasanku salah. Tapi akhirnya ia terima meskipun nampaknya sedikit kecewa
di wajahnya dan kurang semangat.

“Baiklah jika memang kamu sudah ngantuk. Aku tidak mau sama sekali memaksamu,
lagi pula aku sudah cukup senang dan bahagia kamu bersedia menemaniku nonton
sampai selarut ini. Ayo kita masuk tidur” katanya sambil mematikan TV-nya, namun
sebelum aku menutup pintu kamarku, aku melihat sejenak ia sempat memperhatikanku,
tapi aku pura-pura tidak menghiraukannya.

Di atas tempat tidurku, aku gelisah dan bingung mengambil keputusan tentang
alasanku jika besok atau lusa ia kembali mengajakku nonton film tersebut. Antara
mau, malu dan rasa takut selalu menghantukiku. Mungkin dia juga mengalami hal
yang sama, karena dari dalam kamarku selalu terdengar ada pintu kamar terbuka
dan tertutup serta air di kamar mandi selalu kedengaran tertumpah.

Setelah kami makan malam bersama keesokan harinya, kami kembali nonton TV sama-sama
di ruang tamu, tapi penampilan Sidar kali ini agak lain dari biasanya. Ia
berpakaian serba tipis dan tercium bau farfumnya yang harum menyengat hidup
sepanjang ruang tamu itu. Jantungku sempat berdebar dan hatiku gelisah mencari
alasan untuk menolak ajakannya itu, meskipun gejolak hati kecilku untuk
mengikuti kemauannya lebih besar dari penolakanku. Belum aku sempat menemukan
alasan tepat, maka

“Nis, masih ingat janjimu tadi malam? Atau kamu sudah ngantuk lagi?” pertanyaan
Sidar tiba-tiba mengagetkanku.
“O, oohh yah, aku ingat. Nonton VCD khan? Tapi jangan yang seram-seram donk
filmnya, aku tak suka. Nanti aku mimpi buruk dan membuatku sakit, khan repot
jadinya” jawabku mengingatkan untuk tidak memutar film porn.
“Kita liat aja permainannya. Kamu pasti senang menyaksikannya, karena aku yakin
kamu belum pernah menontonnya, lagi pula ini film baru” kata Sidar sambil meraih
kotak yang berisi setumpuk kaset VCD lalu menarik sekeping kaset yang paling di
atas seolah ia telah mempersiapkannya, lalu memasukkan ke CD, lalu mundur dua
langkah dan duduk di sampingku menunggu apa gerangan yang akan muncul di layar
TV tersebut.

Dag, dig, dug, getaran jantungku sangat keras menunggu gambar yang akan tampil
di layar TV. Mula-mula aku yakin kalau filmnya adalah film yang dapat
dipertontonkan secara umum karena gambar pertama yang muncul adalah dua orang
gadis yang sedang berloma naik speed board atau sampan dan saling membalap di
atas air sungat. Namun dua menit kemudian, muncul pula dua orang pria
memburuhnya dengan naik kendaraan yang sama, akhirnya keempatnya bertemu di tepi
sungai dan bergandengan tangan lalu masuk ke salah satu villa untuk bersantai
bersama.

Tak lama kemudian mereka berpasang-pasangan dan saling membuka pakaiannya, lalu
saling merangkul, mencium dan seterusnya sebagaimana layaknya suami istri. Niat
penolakanku tadi tiba-tiba terlupakan dan terganti dengan niat kemauanku. Kami
tidak mampu mengeluarkan kata-kata, terutama ketika kami menyaksikan dua pasang
muda mudi bertelanjang bulat dan saling menjilati kemaluannya, bahkan saling
mengadu alat yang paling vitalnya. Kami hanya bisa saling memandang dan
tersenyum.

“Gimana Nis,? Asyik khan? Atau ganti yang lain saja yang lucu-lucu?” pancing
Sidar, tapi aku tak menjawabnya, malah aku melenguh panjang.
“Apa kamu sering dan senang nonton film beginian bersama suamimu?” giliran aku
bertanya, tapi Sidar hanya menatapku tajam lalu mengangguk.
“Hmmhh” kudengar suara nafas panjang Sidar keluar dari mulutnya.
“Apa kamu pernah praktekkan seperti di film itu Nis?” tanya Sidar ketika salah
seorang wanitanya sedang menungging lalu laki-lakinya menusukkan kontolnya dari
belakang lalu mengocoknya dengan kuat.
“Tidak, belum pernah” jawabku singkat sambil kembali bernafas panjang.
“Maukah kamu mencobanya nanti?” tanya Sidar dengan suara rendah.
“Dengan siapa, kami khan pisah dengan istri untuk sementara” kataku.
“Jika kamu bertemu istrimu nanti atau wanita lain misalnya” kata Sidar.
“Yachh.. Kita liat saja nanti. Boleh juga kami coba nanti hahaha” kataku.
“Nis, apa malam ini kamu tidak ingin mencobanya?” Tanya Sidar sambil sedikit
merapatkan tubuhnya padaku. Saking rapatnya sehingga tubuhnya terasa hangatnya
dan bau harumnya.
“Dengan siapa? Apa dengan wanita di TV itu?” tanyaku memancing.
“Gimana jika dengan aku? Mumpung hanya kita berdua dan nggak bakal ada orang
lain yang tahu. Mau khan?” Tanya Sidar lebih jelas lagi mengarah sambil
menyentuh tanganku, bahkan menyandarkan badannya ke badanku.

Sungguh aku kaget dan jantungku seolah copot mendengar rincian pertanyaannya itu,
apalagi ia menyentuhku. Aku tidak mampu lagi berpikir apa-apa, melainkan
menerima apa adanya malam itu. Aku tidak akan mungkin mampu menolak dan
mengecewakannya, apalagi aku sangat menginginkannya, karena telah beberapa bulan
aku tidak melakukan sex dengan istriku. Aku mencoba merapatkan badanku pula,
lalu mengelus tangannya dan merangkul punggungnya, sehingga terasa hangat sekali.

“Apa kamu serius? Apa ini mimpi atau kenyataan?” Tanyaku amat gembira.
“Akan kubuktikan keseriusanku sekarang. Rasakan ini sayang” tiba-tiba Sidar
melompat lalu mengangkangi kedua pahaku dan duduk di atasnya sambil memelukku,
serta mencium pipi dan bibirku bertubi-tubi.

Tentu aku tidak mampu menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku segera menyambutnya dan
membalasnya dengan sikap dan tindakan yang sama. Nampaknya Sidar sudah ingin
segera membuktikan dengan melepas sarung yang dipakainya, tapi aku belum mau
membuka celana panjang yang kepakai malam itu.

Pergumulan kami dalam posisi duduk cukup lama, meskipun berkali-kali Sidar
memintaku untuk segera melepaskan celanaku, bahkan ia sendiri beberapa kali
berusaha membuka kancingnya, tapi selalu saja kuminta agar ia bersabar dan pelan-pelan
sebab waktunya sangat panjang.

“Ayo Kak Nis, cepat sayang. Aku sudah tak tahan ingin membuktikannya” rayu Sidar
sambil melepas rangkulannya lalu ia tidur telentang di atas karpet abu-abu
sambil menarik tanganku untuk menindihnya. Aku tidak tega membiarkan ia
penasaran terus, sehingga aku segera menindihnya.
“Buka celana sayang. Cepat.. Aku sudah capek nih, ayo dong,” pintanya.

Akupun segera menuruti permintaannya dan melepas celana panjangku. Setelah itu,
Sidar menjepitkan ujung jari kakinya ke bagian atas celana dalamku dan berusaha
mendorongnya ke bawah, tapi ia tak berhasil karena aku sengaja mengangkat
punggungku tinggi-tinggi untuk menghindarinya.

Ketika aku mencoba menyingkap baju daster yang dipakaianya ke atas lalu ia
sendiri melepaskannya, aku kaget sebab tak kusangka kalau ia sama sekali tidak
pakai celana. Dalam hatiku bahwa mungkin ia memang sengaja siap-siap akan
bersetubuh denganku malam itu. Di bawah sinar lampu 10 W yang dibarengi dengan
cahaya TV yang semakin seru bermain bugil, aku sangat jelas menyaksikan sebuah
lubang yang dikelilingi daging montok nan putih mulus yang tidak ditumbuhi bulu
selembar pun.

Tampak menonjol sebuah benda mungil seperti biji kacang di tengah-tengahnya.
Rasanya cukup menantang dan mempertinggi birahiku, tapi aku tetap berusaha
mengendalikannya agar aku bisa lebih lama bermain-main dengannya. Ia sekarang
sudah bugil 100%, sehingga terlihat bentuk tubuhnya yang langsing, putih mulus
dan indah sekali dipandang.

“Ayo donk, tunggu apa lagi sayang. Jangan biarkan aku tersiksa seperti ini”
pinta Sidar tak pernah berhenti untuk segera menikmati puncaknya.
“Tenang sayang. Aku pasti akan memuaskanmu malam ini, tapi saya masih mau
bermain-main lebih lama biar kita lebih banyak menikmatinya”kataku

Secara perlahan tapi pasti, ujung lidahku mulai menyentuh tepi lubang
kenikmatannya sehingga membuat pinggulnya bergerak-gerak dan berdesis.

“Nikmat khan kalau begini?” tanyaku berbisik sambil menggerak-gerakkan lidahku
ke kiri dan ke kanan lalu menekannya lebih dalam lagi sehingga Sidar setengah
berteriak dan mengangkat tinggi-tinggi pantatnya seolah ia menyambut dan ingin
memperdalam masuknya ujung lidahku.

Ia hanya mengangguk dan memperdengarkan suara desis dari mulutnya.

“Auhh.. Aakkhh.. Iihh.. Uhh.. Oohh.. Sstt” suara itu tak mampu dikurangi ketika
aku gocok-gocokkan secara lebih dalam dan keras serta cepat keluar masuk ke
lubang kemaluannya.
“Teruuss sayang, nikkmat ssekalii.. Aakhh.. Uuhh. Aku belum pernah merasakan
seperti ini sebelumnya” katanya dengan suara yang agak keras sambil menarik-narik
kepalaku agar lebih rapat lagi.
“Bagaimana? Sudah siap menyambut lidahku yang panjang lagi keras?” tanyaku
sambil melepaskan seluruh pakaianku yang masih tersisa dan kamipun sama-sama
bugil.

Persentuhan tubuhku tak sehelai benangpun yang melapisinya. Terasa hangatnya
hawa yang keluar dari tubuh kami.

“Iiyah,. Dari tadi aku menunggu. Ayo,. Cepat” kata Sidar tergesa-gesa sambil
membuka lebar-lebar kedua pahanya, bahkan membuka lebar-lebar lubang vaginanya
dengan menarik kiri kanan kedua bibirnya untuk memudahkan jalannya kemaluanku
masuk lebih dalam lagi.

Aku pun tidak mau menunda-nunda lagi karena memang aku sudah puas bermain lidah
di mulut atas dan mulut bawahnya, apalagi keduanya sangat basah. Aku lalu
mengangkat kedua kakinya hingga bersandar ke bahuku lalu berusaha menusukkan
ujung kemaluanku ke lubang vagina yang sejak tadi menunggu itu. Ternyata tidak
mampu kutembus sekaligus sesuai keinginanku. Ujung kulit penisku tertahan,
padahal Sidar sudah bukan perawan lagi.

“Ssaakiit ssediikit.., ppeelan-pelan sedikit” kata Sidar ketika ujung penisku
sedikit kutekan agak keras. Aku gerakkan ke kiri dan ke kanan tapi juga belum
berhasil amblas.

Aku turunkan kedua kakinya lalu meraih sebuah bantal kursi yang di belakanku
lalu kuganjalkan di bawah pinggulnya dan membuka lebar kedua pahanya lalu
kudorong penisku agak keras sehingga sudah mulai masuk setengahnya. Sidarpun
merintih keras tapi tidak berkata apa-apa, sehingga aku tak peduli, malah
semakin kutekan dan kudorong masuk hingga amblas seluruhnya. Setelah seluruh
batang penisku terbenam semua, aku sejenak berhenti bergerak karena capek dan
melemaskan tubuhku di atas tubuh Sidar yang juga diam sambil bernafas panjang
seolah baru kali ini menikmati betul persetubuhan.

Sidar kembali menggerak-gerakkan pinggulnya dan akupun menyambutnya. Bahkan aku
tarik maju mundur sedikit demi sedikit hingga jalannya agak cepat lalu cepat
sekali. Pinggul kami bergerak, bergoyang dan berputar seirama sehingga
menimbulkan bunyi-bunyian yangberirama pula.

“Tahan sebentar” kataku sambil mengangkat kepala Sidar tanpa mencabut penisku
dari lubang vagina Sidar sehingga kami dalam posisi duduk.

Kami saling merangkul dan menggerakkan pinggul, tapi tidak lama karena terasa
sulit. Lalu aku berbaring dan telentang sambil menarik kepada Sidar mengikutiku,
sehingga Sidar berada di atasku. Kusarankan agar ia menggoyang, mengocok dan
memompa dengan keras lagi cepat. Ia pun cukup mengerti keinginanku sehingga
kedua tangannya bertumpu di atas dadaku lalu menghentakkan agak keras bolak
balik pantatnya ke penisku, sehingga terlihat kepalanya lemas dan seolah mau
jatuh sebab baru kali itu ia melakukannya dengan posisi seperti itu. Karena itu,
kumaklumi jika ia cepat capek dan segera menjatuhkan tubuhnya menempel ke atas
tubuhku, meskipun pinggulnya masih tetap bergerak naik turun.

“Kamu mungkin sangat capek. Gimana kalau ganti posisi?” kataku sambil mengangkat
tubuh Sidar dan melapas rangkulannya.
“Posisi bagaimana lagi? Aku sudah beberapa kali merasa nikmat sekali” tanyanya
heran seolah tidak tahu apa yang akan kulakukan, namun tetap ia ikuti
permintaanku karena ia pun merasa sangat nikmat dan belum pernah mengalami
permainan seperti itu sebelumnya.
“Terima saja permainanku. Aku akan tunjukkan beberapa pengalamanku”
“Yah.. Yah.. Cepat lakukan apa saja” katanya singkat.

Aku berdiri lalu mengangkat tubuhnya dari belakang dan kutuntunnya hingga ia
dalam posisi nungging. Setelah kubuka sedikit kedua pahanya dari belakan, aku
lalu menusukkan kembali ujung penisku ke lubangnya lalu mengocok dengan keras
dan cepat sehingga menimbulkan bunyi dengan irama yang indah seiring dengan
gerakanku. Sidar pun terengah-engah dan napasnya terputus-putus menerima
kenikmatan itu. Posisi kami ini tak lama sebab Sidar tak mampu menahan rasa
capeknya berlutut sambil kupompa dari belakan. Karenanya, aku kembalikan ke
posisi semula yaitu tidur telentang dengan paha terbuka lebar lalu kutindih dan
kukocok dari depan, lalu kuangkat kedua kakinya bersandar ke bahuku.

Posisi inilah yang membuat permainan kami memuncak karena tak lama setelah itu,
Sidar berteriak-teriak sambil merangkul keras pinggangku dan mencakar-cakar
punggungku. Bahkan sesekali menarik keras wajahku menempel ke wajahnya dan
menggigitnya dengan gigitan kecil. Bersamaan dengan itu pula, aku merasakan ada
cairan hangat mulai menjalar di batang penisku, terutama ketika terasa sekujur
tubuh Sidar gemetar.

Aku tetap berusaha untuk menghindari pertemuan antara spermaku dengan sel telur
Sidar, tapi terlambat, karena baru aku mencoba mengangkat punggungku dan berniat
menumpahkan di luar rahimnya, tapi Sidar malah mengikatkan tangannya lebih erat
seolah melarangku menumpahkan di luar yang akhirnya cairan kental dan hangat itu
terpaksa tumpah seluruhnya di dalam rahim Sidar. Sidar nampaknya tidak menyesal,
malah sedikit ceria menerimanya, tapi aku diliputi rasa takut kalau-kalau jadi
janin nantinya, yang akan membuatku malu dan hubungan persahabatanku berantakan.

Setelah kami sama-sama mencapai puncak, puas dan menikmati persetubuhan yang
sesungguhnya, kami lalu tergeletak di atas karpet tanpa bantal. Layar TV sudah
berwarna biru karena pergumulan filmnya sejak tadi selesai. Aku lihat jam
dinding menunjukkan pukul 12.00 malam tanpa terasa kami bermain kurang lebih 3
jam. Kami sama-sama terdiam dan tak mampu berkata-kata apapun hingga tertidur
lelap. Setelah terbangun jam 7.00 pagi di tempat itu, rasanya masih terasa capek
bercampur segar.

“Nis, kamu sangat hebat. Aku belum pernah mendapatkan kenikmatan dari suamiku
selama ini seperti yang kamu berikan tadi malam” kata Sidar ketika ia juga
terbangun pagi itu sambil merangkulku.
“Benar nih, jangan-jangan hanya gombal untuk menyenangkanku” tanyaku.
“Sumpah.. Terus terang suamiku lebih banyak memikirkan kesenangannya dan posisi
mainnya hanya satu saja. Ia di atas dan aku di bawah. Kadang ia loyo sebelum
kami apa-apa. Kontolnya pendek sekali sehingga tidak mampu memberikan kenikmatan
padaku seperti yang kami berikan. Andai saja kamu suamiku, pasti aku bahagia
sekali dan selalu mau bersetubuh, kalau perlu setiap hari dan setiap malam”
paparnya seolah menyesali hubungannya dengan suaminya dan membandingkan denganku.
“Tidak boleh sayang. Itu namanya sudah jodoh yang tidak mampu kita tolak.
Kitapun berjodoh bersetubuh dengan cara selingkuh. Sudahlah. Yang penting kita
sudah menikmatinya dan akan terus menikmatinya” kataku sambil menenangkannya
sekaligus mencium keningnya.
“Maukah kamu terus menerus memberiku kenikmatan seperti tadi malam itu ketika
suamiku tak ada di rumah” tanyanya menuntut janjiku.
“Iyah, pasti selama aman dan aku tinggal bersamamu. Masih banyak permainanku
yang belum kutunjukkan” kataku berjanji akan mengulanginya
“Gimana kalau istri dan anak-anakmu nanti datang?” tanyanya khawatir.
“Gampang diatur. Aku kan pembantumu, sehingga aku bisa selalu dekat denganmu
tanpa kecurigaan istriku. Apalagi istriku pasti tak tahan tinggal di kota sebab
ia sudah terbiasa di kampung bersama keluarganya tapi yang kutakutkan jika kamu
hamil tanpa diakui suamimu” kataku.
“Aku tak bakal hamil, karena aku akan memakan pil KB sebelum bermain seperti
yang kulakukan tadi malam, karena memang telah kurencanakan” kara Sidar terus
terang.

Setelah kami bincang-bincang sambil tiduran di atas karpet, kami lalu ke kamar
mandi masing-masing membersihkan diri lalu kami ke halaman rumah membersihkan
setelah sarapan pagi bersama. Sejak saat itu, kami hampir setiap malam
melakukannya, terutama ketika suami Sidar tak ada di rumah, baik siang hari
apalagi malam hari, bahkan beberapa kali kulakukan di kamarku ketika suami Sidar
masih tertidur di kamarnya, sebab Sidar sendiri yang mendatangi kamarku ketika
sedang “haus”.

Entah sampai kapan hal ini akan berlangsung, tapi yang jelas hingga saat ini
kami masih selalu ingin melakukannya dan belum ada tanda-tanda kecurigaan dari
suaminya dan dari istriku.

Related Posts

Previous
Next Post »